Pemerintah Belum Proaktif Dukung Pendidikan

Yogyakarta, Kompas - Sistem politik dan kebijakan pemerintahan di DI Yogyakarta dinilai belum proaktif mendukung eksistensi dan perkembangan kota pendidikan dan budaya ini. Kebijakan pengembangan potensi wilayah yang terlihat mencolok justru berorientasi kepada kepentingan elite tertentu.

Ini terungkap dalam Seminar 250 Tahun Yogyakarta di kampus Universitas Sanata Dharma (USD) Mrican, Selasa (15/8). Seminar yang diprakarsai Pusat Studi Sejarah Indonesia dan Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) USD menampilkan sejumlah pembicara, yakni antropolog Universitas Gadjah Mada PM Laksono, sejarawan USD H Purwanta, pengamat perkotaan Bakti Setiawan, sineas Garin Nugroho, dan staf pengajar USD YB Adimassana.

Adimassana menyatakan, politik pemerintah DIY tidak secara proaktif ikut menyemarakkan pengembangan Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan budaya. Ini misalnya dalam penyediaan lahan untuk sekolah yang baik, sarana-prasarana pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perpustakaan umum, science dan research center, termasuk pada pengaturan indekos serta lalu lintas.

"Yang terlihat mencolok justru pengembangan mal, kafe, atau perumahan elite sehingga kenyataan yang terjadi justru kontraproduktif terhadap pengembangan pendidikan," katanya.

Adimassana menyatakan, seharusnya pemerintah belajar dari sejumlah tokoh besar di bidang pendidikan negara ini yang secara nyata menyebarkan semangat kebebasan, kebangsaan, kerakyatan, kemanusiaan, dan pencerdasan bangsa, pun ketika berhadapan dengan politik kekuasaan pada zamannya. Perubahan kekuasaan

PM Laksono menyoroti masalah efek perubahan kekuasaan di Yogyakarta. Ia mengungkapkan, masyarakat Jawa sudah terbagi struktur- struktur tertentu, yang salah satunya ditunjukkan dalam penggunaan bahasa, misalnya bahasa Jawa yang terbagi dalam ngoko dan krama. Bahasa Jawa yang terbagi dalam ngoko dan krama menentukan status seseorang.

"Karena penetrasi sistem ekonomi yang kapitalistik dan eksploitatif, keberadaan masyarakat tradisional atau etnik ini menjadi terpengaruh. Namun, tersingkirnya masyarakat etnik jangan semata-mata dilihat sebagai hilangnya keaslian, tapi lebih kepada hilangnya pribadi dan rasa percaya diri. Reposisi budaya etnik memerlukan suatu gerakan sosial untuk meraih rekognisi dari bangsa. Di sini keagungan budaya etnik tidak perlu diagung-agungkan, tapi efikasi pembangunan juga tidak perlu dilebih-lebihkan," ujarnya. (ONI/BEN)

Tidak ada komentar: